Senin, 12 Mei 2014


Nama : Ismi Azizah
Kelas : 1EB08
Npm : 24213557

Upaya Pemerintah Untuk Menutupi APBN yang Defisit

           Salah satu masalah serius yang dihadapi pemerintah adalah besarnya defisit APBN. Anggaran defisit adalah anggaran dengan pengeluaran Negara lebih besar daripada penerimaan negara. Intinya, penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan tidak mencukupi untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain, defisit APBN terjadi apabila pemerintah harus meminjam dari bank sentral atau harus mencetak uang baru untuk membiayai pembangunannya.
 Tahun 2008 dan 2009 sebagai dampak dari melambatnya perekonomian dunia di respon oleh defisit dari APBN yang pada tahun sebelumnya 2007 sebesar 1,3 persen menjadi 2,1 dan 2,5 persen di tahun 2008 dan 2009. Untuk menutupi defisit APBN tersebut ada beberapa alternatif yang dapat digunakan, diantaranya:        
     1.Dengan melakukan pinjaman (bond) ke negara lain
     2.  Kebijakan devisa
     3. Kebijakan nilai tukar
     4. Pemungutan pajak dll
 Pembiayaan defisit dari hutang memerlukan daya tarik yaitu dengan tingginya imbal hasil (bunga) yang ditawarkan. Dampak dari suku bunga yang tinggi pada sisi keuangan negara adalah akan terjadinya capital inflow. Keseimbangan APBN dari pembiayaan hutang tidak selamanya berdampak positif bagi perekonomian, meskipun defisit masih di bawah dari ketentuan undang – undang. Neoclasic dan Keynes telah memberikan gambaran bahwa pembiayaan defisit APBN dari hutang yang didukung oleh tingkat suku bunga yang tinggi akan berbentuk Crowding Out dan Crowding In. Pandangan Neoclasic menjelaskan bahwa ketika pemerintah menerbitkan bond atau pinjaman sebagai salah satu cara untuk mengatasi defisit APBN, maka akan terjadi perlambatan kegiatan ekonomi di masyarakat yang disebabkan oleh bunga pinjaman yang harus dibayarkan meningkat akibat dari suku bunga yang di tetapkan pemerintah mengalami kenaikan. Proses tersebut akan berdampak pada pengalihan pinjaman dari dalam negeri ke luar negeri atau yang disebut sebagai Crowding Out. pemerintah Indonesia dari tahun 2005 hingga 2009 mengalami peningkatan Utang Luar Negeri rata-rata 7% setiap tahunnya. Peningkatan jumlah Utang tersebut mengindikasikan bahwa defisit APBN sebagian di tutup dari Utang.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati memprediksikan jika tanpa pengawalan kebijakan yang ketat, APBN 2008 dapat saja mencapai defisit 4,3% dari PDB atau Rp185,4 triliun. Kondisi ini, dapat terjadi jika pendapatan negara hanya mencapai Rp786,4 triliun dan belanja pemerintah Rp971,8 triliun. (Bisnis, 1 Februari).
Dalam situasi yang memerlukan sustainability fiscal seperti sekarang ini, pelonggaran angka defisit wajar terjadi dan memang mau tidak mau harus dilakukan. Persoalannya sekarang, pada kisaran angka defisit berapakah yang bisa dijadikan acuan anggaran dan pastinya juga masih dalam kendali.


Efisiensi & optimalisasi APBN
         Pada hakikatnya, efisiensi dalam APBN adalah cara mengoptimalkan APBN. Optimalisasi ini tidak hanya meliputi nilai efisiensi tapi juga harus memenuhi kriteria seberapa ekonomis dan efektifnya penggunaan uang yang dikeluarkan. Efektif berarti anggaran yang dikeluarkan dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan. Nilai efektivitas ini merupakan hasil dari kemampuan suatu anggaran untuk mencapai tepat sasaran atau tepat guna. Efisien merupakan cara untuk mengolah aspek waktu sebaik mungkin. Anggaran yang dikeluarkan bisa disebut efisien jika manfaat atau hasil yang diperoleh tepat sasaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Sementara itu, ekonomis adalah suatu cara penghematan yang dilakukan dengan bijaksana. Nilai ekonomis ini akan menentukan pengeluaran di sektor apa saja yang harus mendapat skala prioritas lebih dalam rangka mendapatkan hasil yang optimal secara keseluruhan.Satu hal yang harus diperhatikan dalam efisiensi anggaran adalah usaha-usaha penghematan yang dilakukan tidak boleh mengganggu alokasi anggaran program pemberantasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur.Dalam rencana yang akan diajukan, pemerintah memutuskan untuk mengalihkan subsidi energi sebesar Rp25 triliun, yang di antaranya diperoleh dari penghematan subsidi BBM dan listrik, untuk program stabilisasi harga bahan pokok.Selain itu, penghematan juga rencananya akan diberlakukan pada anggaran belanja kementerian dan lembaga negara. Prioritas alokasi anggaran pada program stabilisasi pangan merupakan hal yang tepat.


Pajak atau utang
          Menutupi defisit APBN, tentu saja pemerintah berharap dari tambahan penerimaan ekspor pertambangan atau sektor komoditas serta penerimaan dividen dari BUMN menjadi Rp31 triliun. Kendati selayaknya dividen digunakan bagi investasi BUMN tersebut agar menjadi lebih besar dan bukan hanya untuk menutup APBN.
           Alternatif lain adalah opsi menggenjot penerimaan pajak dan menambah utang baru. Dalam kondisi perlambatan ekonomi, menggenjot penerimaan pajak menjadi hal yang susah direalisasikan. Dengan adanya peraturan mengenai fiskal, pajak ekspor dipastikan akan turun.Selain itu, kenaikan pajak akan dibebankan pada konsumen yang akan bermuara juga pada kenaikan laju inflasi.
           Opsi terakhir adalah menambah utang baru. Pemerintah berencana menaikkan utang baru dari dalam negeri dengan menerbitkan obligasi negara dengan kenaikan target dari Rp90 triliun menjadi Rp108,4 triliun.
Mengacu pada pendekatan akuntansi (accounting approach), ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai kebijakan fiskal yang diharapkan.       
·      Pertama, primary balance harus surplus. Primary balance adalah selisih antara anggaran penerimaan dan pengeluaran di luar bunga dan cicilan utang.
·      Kedua, rasio utang terhadap PDB yang konstan.Faktor-faktor yang perlu dipenuhi dalam pencapaian kestabilan fiskal, sebagaimana yang disyaratkan Accounting Approach dalam pelaksanaannya memiliki kelemahan karena profil jatuh tempo utang pemerintah diabaikan. Jika jatuh tempo utang terkonsentrasi pada satu periode yang berdekatan dan primary balance surplus tidak mampu mengimbangi, tekanan fiskal dari lonjakan pembayaran utang yang jatuh tempo tidak bisa dihindari.


Tekanan fiscal
          Kondisi APBN 2008 adalah sebesar 2,3%. Dengan kondisi seperti itu, primary balance belum bisa mengkompensasi beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang. Struktur jatuh tempo utang pemerintah juga terkonsentrasi pada periode 2007-2014. Jadi meski primary balance masih surplus, tekanan fiskal pada periode ini harus dikendalikan.Untuk mengatasinya pemerintah harus melakukan refinancing. Jalan yang lebih aman dengan menambah utang dalam negeri meski kemungkinan berdampak negatif pada perekonomian nasional, misalnya tingkat bunga pasar akan lebih tinggi dan terjadi crowding-out effect terhadap sektor swasta di pasar finansial. Tekanan perlambatan ekonomi yang tak bisa dihindari, pelonggaran defisit anggaran mau tidak mau mesti dilakukan. Dalam tujuh tahun terakhir, angka defisit tertinggi yang berhasil dikendalikan adalah 3,6% pada 2001. Dengan mengacu pada angka itu, kisaran 2%-3% merupakan defisit yang masih manageable.
            Ada pemikiran lain yang mengatakan bahwa masih terdapat sumber lain yang masih mungkin dilakukan adalah dengan mempercepat proses pengembalian uang negara, baik yang dari BLBI para obligor kooperatif maupun non-kooperatif yang jika dijumlahkan bisa mencapai ratusan triliun maupun dari kasus-kasus korupsi kakap lainnya. Namun tindakan ini memerlukan keberanian yang cukup kuat dan juga tidak mudah direaliasikan mengingat korupsi sudah mendarah daging dalam praktiknya.
            Sebagai penutup, dengan tekanan fiskal pada struktur APBN kita, sudah selayaknya kita mendukung upaya efisiensi program pemerintah serta pengembalian aset negara dari para koruptor demi tercapainya upaya stabilisasi perekonomian nasional.


Kebijakan Devisa 1959-1966
              Untuk mengatasi berbagai tekanan, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen VerordeningTahun 1940.
             Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.

Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966
              Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk meringankan beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional.
              Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali, terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per USD1.Sehingga, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate system.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar