Nama
: Ismi Azizah
Kelas
: 1EB08
Npm
: 24213557
Upaya
Pemerintah Untuk Menutupi APBN yang Defisit
Salah satu masalah serius yang dihadapi pemerintah adalah besarnya
defisit APBN. Anggaran defisit adalah anggaran dengan pengeluaran
Negara lebih besar daripada penerimaan negara. Intinya, penerimaan rutin dan
penerimaan pembangunan tidak mencukupi untuk membiayai seluruh pengeluaran
pemerintah. Dengan kata lain, defisit APBN terjadi apabila pemerintah harus
meminjam dari bank sentral atau harus mencetak uang baru untuk membiayai
pembangunannya.
Tahun
2008 dan 2009 sebagai dampak dari melambatnya perekonomian dunia di respon oleh
defisit dari APBN yang pada tahun sebelumnya 2007 sebesar 1,3 persen menjadi
2,1 dan 2,5 persen di tahun 2008 dan 2009. Untuk menutupi defisit APBN tersebut
ada beberapa alternatif yang dapat digunakan, diantaranya:
1.Dengan melakukan pinjaman (bond)
ke negara lain
2. Kebijakan
devisa
3. Kebijakan nilai tukar
4. Pemungutan pajak dll
Pembiayaan defisit dari hutang memerlukan daya
tarik yaitu dengan tingginya imbal hasil (bunga) yang ditawarkan. Dampak dari
suku bunga yang tinggi pada sisi keuangan negara adalah akan terjadinya capital inflow. Keseimbangan APBN dari
pembiayaan hutang tidak selamanya berdampak positif bagi perekonomian, meskipun
defisit masih di bawah dari ketentuan undang – undang. Neoclasic dan Keynes telah
memberikan gambaran bahwa pembiayaan defisit APBN dari hutang yang didukung
oleh tingkat suku bunga yang tinggi akan berbentuk Crowding Out dan Crowding In.
Pandangan Neoclasic menjelaskan bahwa ketika pemerintah menerbitkan bond atau pinjaman sebagai salah satu
cara untuk mengatasi defisit APBN, maka akan terjadi perlambatan kegiatan
ekonomi di masyarakat yang disebabkan oleh bunga pinjaman yang harus dibayarkan
meningkat akibat dari suku bunga yang di tetapkan pemerintah mengalami
kenaikan. Proses tersebut akan berdampak pada pengalihan pinjaman dari dalam
negeri ke luar negeri atau yang disebut sebagai Crowding Out. pemerintah Indonesia dari tahun 2005 hingga 2009
mengalami peningkatan Utang Luar Negeri rata-rata 7% setiap tahunnya.
Peningkatan jumlah Utang tersebut mengindikasikan bahwa defisit APBN sebagian
di tutup dari Utang.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati memprediksikan jika
tanpa pengawalan kebijakan yang ketat, APBN 2008 dapat saja mencapai defisit
4,3% dari PDB atau Rp185,4 triliun. Kondisi ini, dapat terjadi jika
pendapatan negara hanya mencapai Rp786,4 triliun dan belanja pemerintah
Rp971,8 triliun. (Bisnis, 1 Februari).
Dalam situasi yang memerlukan sustainability fiscal
seperti sekarang ini, pelonggaran angka defisit wajar terjadi dan memang mau
tidak mau harus dilakukan. Persoalannya sekarang, pada kisaran angka defisit
berapakah yang bisa dijadikan acuan anggaran dan pastinya juga masih dalam
kendali.
Efisiensi & optimalisasi APBN
Pada
hakikatnya, efisiensi dalam APBN adalah cara mengoptimalkan APBN.
Optimalisasi ini tidak hanya meliputi nilai efisiensi tapi juga harus
memenuhi kriteria seberapa ekonomis dan efektifnya penggunaan uang yang
dikeluarkan. Efektif berarti anggaran yang dikeluarkan dapat mencapai sasaran
yang telah ditentukan. Nilai efektivitas ini merupakan hasil dari kemampuan
suatu anggaran untuk mencapai tepat sasaran atau tepat guna. Efisien merupakan
cara untuk mengolah aspek waktu sebaik mungkin. Anggaran yang dikeluarkan
bisa disebut efisien jika manfaat atau hasil yang diperoleh tepat sasaran
dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Sementara itu, ekonomis adalah
suatu cara penghematan yang dilakukan dengan bijaksana. Nilai ekonomis ini
akan menentukan pengeluaran di sektor apa saja yang harus mendapat skala
prioritas lebih dalam rangka mendapatkan hasil yang optimal secara
keseluruhan.Satu hal yang harus diperhatikan dalam efisiensi anggaran adalah
usaha-usaha penghematan yang dilakukan tidak boleh mengganggu alokasi
anggaran program pemberantasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur.Dalam
rencana yang akan diajukan, pemerintah memutuskan untuk mengalihkan subsidi energi
sebesar Rp25 triliun, yang di antaranya diperoleh dari penghematan subsidi
BBM dan listrik, untuk program stabilisasi harga bahan pokok.Selain itu,
penghematan juga rencananya akan diberlakukan pada anggaran belanja
kementerian dan lembaga negara. Prioritas alokasi anggaran pada program
stabilisasi pangan merupakan hal yang tepat.
Pajak atau utang
Menutupi defisit APBN, tentu saja pemerintah berharap dari tambahan
penerimaan ekspor pertambangan atau sektor komoditas serta penerimaan dividen
dari BUMN menjadi Rp31 triliun. Kendati selayaknya dividen digunakan bagi
investasi BUMN tersebut agar menjadi lebih besar dan bukan hanya untuk
menutup APBN.
Alternatif lain adalah opsi menggenjot
penerimaan pajak dan menambah utang baru. Dalam kondisi perlambatan
ekonomi, menggenjot penerimaan pajak menjadi hal yang susah direalisasikan.
Dengan adanya peraturan mengenai fiskal, pajak ekspor dipastikan akan
turun.Selain itu, kenaikan pajak akan dibebankan pada konsumen yang akan
bermuara juga pada kenaikan laju inflasi.
Opsi
terakhir adalah menambah utang baru. Pemerintah berencana menaikkan utang
baru dari dalam negeri dengan menerbitkan obligasi negara dengan kenaikan
target dari Rp90 triliun menjadi Rp108,4 triliun.
Mengacu pada pendekatan akuntansi (accounting approach), ada dua faktor
yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai kebijakan fiskal yang diharapkan.
·
Pertama, primary balance harus surplus. Primary
balance adalah selisih antara anggaran penerimaan dan pengeluaran di luar
bunga dan cicilan utang.
·
Kedua, rasio utang terhadap PDB yang konstan.Faktor-faktor
yang perlu dipenuhi dalam pencapaian kestabilan fiskal, sebagaimana yang
disyaratkan Accounting Approach
dalam pelaksanaannya memiliki kelemahan karena profil jatuh tempo utang
pemerintah diabaikan. Jika jatuh tempo utang terkonsentrasi pada satu periode
yang berdekatan dan primary balance
surplus tidak mampu mengimbangi, tekanan fiskal dari lonjakan pembayaran
utang yang jatuh tempo tidak bisa dihindari.
Tekanan fiscal
Kondisi APBN 2008 adalah sebesar 2,3%. Dengan kondisi seperti itu,
primary balance belum bisa mengkompensasi beban pembayaran bunga dan cicilan
pokok utang. Struktur jatuh tempo utang pemerintah juga terkonsentrasi pada
periode 2007-2014. Jadi meski primary balance masih surplus, tekanan fiskal
pada periode ini harus dikendalikan.Untuk mengatasinya pemerintah harus
melakukan refinancing. Jalan yang lebih aman dengan menambah utang dalam
negeri meski kemungkinan berdampak negatif pada perekonomian nasional,
misalnya tingkat bunga pasar akan lebih tinggi dan terjadi crowding-out
effect terhadap sektor swasta di pasar finansial. Tekanan perlambatan
ekonomi yang tak bisa dihindari, pelonggaran defisit anggaran mau tidak mau
mesti dilakukan. Dalam tujuh tahun terakhir, angka defisit tertinggi yang
berhasil dikendalikan adalah 3,6% pada 2001. Dengan mengacu pada angka itu,
kisaran 2%-3% merupakan defisit yang masih manageable.
Ada pemikiran lain yang mengatakan bahwa masih terdapat sumber lain yang masih mungkin dilakukan adalah dengan mempercepat proses pengembalian uang negara, baik yang dari BLBI para obligor kooperatif maupun non-kooperatif yang jika dijumlahkan bisa mencapai ratusan triliun maupun dari kasus-kasus korupsi kakap lainnya. Namun tindakan ini memerlukan keberanian yang cukup kuat dan juga tidak mudah direaliasikan mengingat korupsi sudah mendarah daging dalam praktiknya.
Sebagai
penutup, dengan tekanan fiskal pada struktur APBN kita, sudah selayaknya kita
mendukung upaya efisiensi program pemerintah serta pengembalian aset negara
dari para koruptor demi tercapainya upaya stabilisasi perekonomian nasional.
|
Kebijakan
Devisa 1959-1966
Untuk mengatasi berbagai tekanan,
Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk
keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan
ekpor.Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun
1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen
Ordonnantie Tahun
1940 dan Deviezen VerordeningTahun
1940.
Dengan diberlakukannya
Undang-undang No.32 ini maka devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan
untuk diserahkan kepada Dana devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap
terkontrol namun tidak dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan
dengan cara menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk
mencegah pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu
lintas modal.Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara
lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.
Kebijakan
Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959,
Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk meringankan beban APBN,
memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu
terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa
serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional.
Devaluasi yang dilakukan adalah
mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi
ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada
pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga
mengakibatkan naiknya inflasi.Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu
itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya
impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut, mengakibatkan
anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian diatasi antara
lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan kurs tambahan
bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap penyerahan
devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar sebesar
Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada importer juga
diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan barang, yaitu
Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810 untuk golongan
III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali, terakhir pada
tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi eksportir maupun
importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen) dari kurs tetap
Rp45,- per USD1.Sehingga, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut
dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple
exchange rate system.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar